Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : Desember 2015, cetakan kedua
Penulis : Tasniem Fauzia Rais & Ridho Rahmadi
Halaman : 246
“...aku belajar ketika kalian belajar, dan aku pun belajar ketika kalian tidur.”
Berawal dari kegagalan memperoleh nilai ujian akhir yang cukup untuk melanjutkan sekolah di SMA impiannya di Yogya, Tasniem, gadis yang saat itu baru 15 tahun, menantang dirinya untuk merantau ke luar negeri. Berbekal restu sang ibu yang rela menjual sepetak tanah, ia berangkat ke Singapura melanjutkan sekolah dengan tekad memenangi apa yang “direbut” darinya.
Hidup di Singapura dan belajar di sekolah internasional mengantarkan Tasniem melihat dunia global. Di sisi lain, remaja belasan tahun ini juga didera cobaan hidup merantau: rindu keluarga, kesepian, terasing dan uang pas-pasan seringkali merayunya untuk menyerah dan pulang.
Beruntung, Tuhan kirimkan tiga teman serantau; Cecilia asal China, Aarin asli India, dan Angelina dari Indonesia. Empat sekawan ini sekalipun berbeda dalam keyakinan dan banyak hal lain, berhasil melewati suka-duka dan sukses membangun persahabatan. Petulangan mereka menjadi suguhan menarik sarat makna.
Mampukah Tasniem memenangi apa yang menjadi tekadnya? Mampukah ia menjadi bintang yang paling terang?
Novel ini bisa dibilang buku autobiografi penulis, atau lebih tepatnya diary penulis, Tasniem Fauzia Rais. Seperti yang dijelaskan di blurb, ini tentang kegagalan dalam nilai EBTANAS-nya dulu. Merasa belum waktunya untuk mengakhiri, kegagalan itulah yang dijadikan Tasniem untuk mengawali perjuangan barunya.
Tetapi tidak hanya menjawab dua pertanyaan akhir blurb belakang cover, novel ini juga mengupas tuntas 'bagaimana' perjuangan Tasniem.
Berhubung novel ini kisah true story, aku akan sedikit bercerita tentang kisahku yang hampir sama dengan penulis. Nilai UN SMP-ku juga kurang memuaskan. Bahkan mungkin, bisa tergeser untuk masuk SMA favoritku. Beruntung, aku sudah punya tiket masuk SMA itu dari jauh-jauh hari—karena lomba.
Aku pun sependepat dengan penulis, bahwa seharusnya kesuksesan itu proses bukan peistiwa yang ditentukan hanya dengan mengerjakan soal beberapa jam. Memang, nilai NEM tidak dijadikan patokan kelulusan. Tetapi alasan untuk mencari sekolah lanjutan? Aku kurang setuju. Karena masih banyak di sekitarku—fakta lapangan, tidak selancar itu.
Memenangkan proses itu sendiri lebih dahsyat dari pada memenangkan skor pertandingan.Bagiku, buku bercover biru gelap ini adalah novel merangkap buku motivasi. Kenapa begitu? Karena setiap lembaran kisahnya, menyiratkan banyak pelajaran penting. Tentang makna perjuangan, belajar, persahabatan, keluarga, agama juga mimpi. Tidak hanya terhibur, pembaca juga akan mendapatkan banyak motivasi baik tersirat dalam kisahnya atau tersurat dalam kutipannya.
Algoritma Tuhan memang bekerja misterius, hampir saja nalarku tak dapat menelaahnya.Diceritakan, Tasniem tidak melulu berjuang dengan belajar, tetapi--berulang kali--juga ditekankan untuk konsisten dalam ibadahnya. Sungguh, aku merasa novel ini sukses menyuntikkan energi positif kepada pembacanya. Tidak hanya itu, ada juga beberapa tips manjur dari ayahnya yang terbukti sukses diterapkannya dulu. Penasaran?
“Jadikan kegagalan sahabat terbaikmu, karena hanya dialah yang setia dalam mengingatkan untuk selalu berusaha yang lebih baik. Tanpanya, kamu tidak akan pernah maju.”Perjuangan Tasniem tidak sendiri. Ia juga punya tiga teman sekamar, yang kemudian menjadi sahabatnya. Ada Angelina yang di atas mejanya punya Injil, Aarin punya Weda dan patung Brahma, Cecilia punya kita Tripitaka dan patung Buddha, dan Tasniem dengan Al-Qur’an. Mereka berbeda memang, tetapi bukan alasan untuk membeda-bedakan. Dari merekalah, hidup pejuangnya lebih berwarna. Seperti lelucon cerdas Aarin yang sukses membuatku tertawa saat membacanya.
Pilihanku hanya dua saat itu: kerja keras atau kerja dengan sangat keras.Saya salut dengan perjuangan tokoh di dalam kisah ini yang merupakan penulisnya, Tasniem. Banyak yang harus dicontoh dan diterapkan dalam kehidupan remaja sekarang. Dan saya berharap, buku ini dapat menghidupkan mimpi remaja Indonesia.
Novel ini ditulis oleh dua orang, Tasniem dan Ridho. Tetapi saya merasa bahwa tidak ada perbedaan gaya menulis yang besar antara keduanya. Tulisannya mengalir, lincah dan rapi.
Karena katanya buku ini adalah trilogi, saya pun masih penasaran dengan kelanjutan kisahnya. Terutama untuk Ridho yang muncul di bagian akhir novel. Saya akan sangat menunggu sekuelnya!
Saat perjalanan dalam membacanya, tidak jarang saya mendapati diri sendiri tersenyum saat membaca deret kalimatnya. Dengan menyelipkan kutipan ilmiah, penulis mampu menghidupkan unsur pelajar yang terasa sangat kental. Termasuk beberapa yang saya sukai :
Perjalanan moral hari itu, kucatat dalam Cerebrum-ku : jangan berkawan dengan prasangka buruk!
Cuaca pagi menuju siang pada hari itu cukup panas, membuat kelenjar keringat pada lapisan dermisku aktif dan pembuluh kapiler menjadi lebar.
Aku seperti menerima hantaman petinju dengan massa lengan 8 kg, massa kepala 6 kg, waktu tumbukan sekitar 0,003 detik, dan kecepatan sekitar 0.55 meter per detik.
Lewat mulut dan hidungku, udara segar pagi itu masuk ke tubuhku, menyusuri trachea, di sepanjang lorong ini rambut kecil cilia bergerak-gerak halus melambai bak penari, menyaring kotoran yang terbawa di udara sebelum melewati bronchi dan bronchioles yang berbentuk seperti cabang-cabang ranting pohon yang semakin ujung semakin mengecil.
Sosok ayah, bapak, atau papa bagi seorang anak permepuan adalah bagaikan kumpulan bintang Big Dipper dalam konstelasi Ursa Major bagi seorang pengembara.
Lima bintang yang paling terang untuk kisah inspiratifnya!
“Setinggi apa pun kau terbang, dan ke belahan bumi mana pun kelak engkau berpetualang, suatu saat kembalilah, negeri ini membutuhkanmu.”P.s : Terimakasih kak Afin atas kesempatan giveawaynya!
P.s.s : Terimakasih kak Tasniem dan kak Ridho atas kisah inspiratifnya!
P.s.s : Terimakasih kak Rizky atas tawaran sebelumnya!
0 komentar:
Posting Komentar