Penulis : Irene Dyah @aikarin
Penerbit : Gramedia
Tahun Terbit : 2015
Orang bilang jatuh, cuma ada dua kemungkinan. Menjadi peka, atau menjadi sangat bebal kuadrat. (hlm. 38)
Seandainya aku tidak ke Solo waktu itu...seandainya nasib tidak membawaku bertemu pria itu...aku pastilah tetap menjadi Miyu Hasegawa yang normal. Gadis Jepang biasa yang hidup dalam irama tetap barangkali monoton, tapi toh, menikmatinya. Tapi sekarang? Aku bersandar di tempat tidur kanak-kanak yang bukan milikku, rambut semrawut, hati dan otak semrawut lagi. Memelototi Crazy Stupid Love di TV tanpa suara dengan mata sembab. Meratapi dan mengasihani diri sendiri, jatuh hati pada pria yang salah.
Hidup Miyu yang tenang mendadak absurd karena kehadiran Scott, fotografer yang sering terlena menatap Miyu menari di pentas, melupakan kamera di tangannya. Lebih absurd lagi, Miyu harus menyembunyikan identitas pria itu dari kedua sahabatnya: Aliyah; istri dari ibu yang masih kerepotan mengurus hijab barunya, serta Ajeng; gadis metropolis yang nyinyir pada pernikahan.
Kala akal sehat tidak sejalan dengan hati, mana yang Miyu pilih? Lepas dari Scott yang tidak kenal kata menyerah, atau merelakan diri hanyut terbawa pesona yang begitu memabukkan?
Dan ketika Masjid Camii Tokyo mempertemukan Miyu dengan sang Bintang Fajar, sungguhkah Miyu telah menemukan happy ending-nya?
Jangan kamu melepaskan gunung permata di tanganmu hanya karena ingin memungut satu batu kecil yang tercecer. --Miyu Hasegawa
Novel ini sekuel dari Tiga Cara Mencinta. Lanjutan tentang kisah persahabatan; Ajeng-Aliyah-Miyu. Sayangnya, saya belum berkesempatan membaca novel pertamanya. Sempat bingung mau dibawa kemana dari prolog di awal bab. Meski lambat laun, saya mulai mengerti kisah tentang tiga bestie ini. Dan sekalipun berkelanjutan, setiap buku memiliki kisah berbeda.
Dan ini tentang Miyu Hasegawa, gadis jepang yang mencintai tarian Indonesia. Tentang kisah kasihnya dengan 'cinta terlarang'. Siapapun yang mengaku penikmat kisah roman, pasti mengakui konfliknya terlalu mainstream, benar? Tapi itulah fakta. Di dunia nyata pun masalah seperti itu bukan suatu yang 'wah'. Hanya saja, cara penulis membumbui kisanya dengan celoteh sahabat itu yang menarik. Pun dengan sentuhan islami yang membuat novel ini punya khas tersendiri.
Tetapi dari semua itu, entah kenapa saya merasa kurang mendapat chemistry diantara kedua sejoli itu, Scott dan Miyu. Alasan Miyu mencintai Scott bukan karena tampang visualnya masih belum bisa diterima. Pun porsi keduanya bisa kurang memuaskan, dan karakter Scott yang kurang greget.
Tiga sahabat itu menjadi tokoh utama dalam kisah ini, tentu saja. Miyu, gadis jepang yang sensitif dan cenderung diam. Aliyah, gadis Indonesia--yang tinggal di Tokyo--yang kemudian menemukan jati diri islamnya. Ajeng, gadis Indonesia--yang tinggal di Bangkok--suka ceplas-ceplos dan ngomong blak-blakan. Karakter mereka kuat, disiratkan dalam beberapa argumen dan sikapnya. Ya sekalipun, banyak deskripsi yang bertele-tele dan bahkan tidak mempengaruhi alur.
Satu lagi, saya merasa ada yang janggal; sekalipun Miyu bisa berbahasa Indonesia, apa dia mengerti ocehan Aliyah dan Ajeng yang keseringan menggunakan bahasa gaul? Ya, memang saya melihat perbedaan ketika Miyu berbicara yang dengan menggunakan bahasa formal. Tetapi tidak untuk sebaliknya.
Mengambil genre roman dengan bumbu pop-religi, ada pesan-pesan islami yang sengaja penulis siratkan dalam hijrahnya Aliyah. Penyampaiannya bagus dan tidak terkesan menggurui. Tentang islam, hijab, Tuhan, dan kebesaran-Nya.
Karakternya kontras dengan Ajeng yang menggemaskan dan suka bikin greget. Dengan karakter yang berbeda inilah, yang membuat kisah trio ini cukup segar dan terkesan hidup!
Lalu ada sang Bintang Fajar--seperti yang disebutkan di blurb. Entah kenapa saya tertarik dengannya sejak mendengar desas desus tentang Alisya, guru Aliyah. Tapi, cerita tentang Thariq si Bintang Fajar ini sangat minim. Begitupun interaksinya dengan Miyu. Tidak berkesan penting.
Dan yang sangat disayangkan, konfliknya kurang runcing. Kurang digali lagi. Permasalahan dan penyelesaiannya pun terbilang cukup cepat.
Mengangkat judul Negeri Sakura, saya pikir akan diajak jalan-jalan untuk mencintai Jepang. Ada sih beberapa, tapi (masih) kurang puas, Kak. Daripada setting, saya lebih merasakan kekentalan budaya jepangnya dari novel ini. Menarik! Risetnya turun langsung ke Tokyo ya, Kak? Ehehehe.
Satu lagi, saat membaca, saya sedikit tidak nyaman dengan kata yang dipisah dengan tanda hubung. Kurang benar, tetapi banyak berceceran dibeberapa halaman. Misal;
dipe- gang. Seharusnya di- pegang. -hlm. 1
menggu- nakan Seharusnya meng- gunakan atau mengguna-kan. -hlm. 21
Dan masih banyak lagi yang tidak sempat saya catat.
Hendak dijadikan pertimbangan jika nanti cetak ulang ya, Kak.
Bicara tentang ending, sebenarnya tidak menggantung, cukup memberi kepastian jalan mana yang dipilih Miyu. Tetapi, untuk Ajeng saya masih penasaran. Sangat. Bahkan sejak prolognya yang menyebutkan Barra. Entah kenapa Ajeng lebih menarik perhatian saya dari pada yang lain. Dan saya menunggu kisah selanjutnya!
Walaupun atas nama cinta. Aku tidak pernah merasa berhak bahagia di atas kesedihan orang lain. Sekali lagi, itu culas. (hlm. 146)
Worth, 3 from 5!
P.s : Terimakasih telah mengenalkanku pada trio bestie dan kisahnya, Kak.
P.s.s : Terimakasih novel dan tanda tangannya, Kak Irene.
0 komentar:
Posting Komentar